Di antara hamparan sawah dan pemukiman sederhana di Timbulharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kehidupan masyarakat berjalan dalam kesederhanaan. Setiap pagi, para petani turun ke sawah menenteng cangkul, para ibu berdagang di pasar tradisional, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai buruh pabrik atau pekerja harian lepas. Penghasilan mereka pas-pasan, sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan terkadang harus dicukup-cukupkan agar dapur tetap mengepul.
Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan akan layanan kesehatan sering kali terabaikan, karena biaya berobat dianggap sebagai pengeluaran yang terlalu berat. Padahal, masalah kesehatan bisa datang kapan saja—tanpa pandang waktu dan keadaan ekonomi. Ketika sakit menyerang, banyak warga hanya bisa menahan rasa sakit atau mengandalkan pengobatan seadanya, sebab jarak ke fasilitas kesehatan yang memadai cukup jauh dan biayanya tak terjangkau.
Dari keprihatinan itulah muncul gagasan mulia dari Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Sewon sekitar tahun 2014 untuk mendirikan klinik yang mampu memberikan layanan kesehatan murah bahkan gratis bagi masyarakat kecil.
Setelah melalui proses panjang dan penuh semangat gotong royong, berdirilah Klinik NU Care Sewon, sebuah fasilitas kesehatan yang berdiri di atas lahan seluas 213 meter persegi dengan bangunan 105,7 meter persegi. Klinik ini menjadi tempat warga menggantungkan harapan akan pengobatan yang terjangkau dan penuh kasih.
Namun di balik pelayanan tulus itu, ada perjuangan besar yang harus dihadapi. Biaya operasional, pembelian obat-obatan, gaji tenaga kesehatan, serta kebutuhan alat medis menjadi tantangan utama. Meski klinik telah berupaya menjalin kerja sama dengan publik, donatur perseorangan, dan CSR perusahaan, kebutuhan masih jauh dari cukup.
“Pernah suatu waktu, ada pasien yang harus segera ditangani. Namun karena peralatan kami terbatas, kami terpaksa merujuknya ke rumah sakit di kota yang jaraknya cukup jauh. Saat itu kami hanya bisa berdoa semoga pasien segera mendapat pertolongan,” ujar Febri Laila Erza (34), tenaga kesehatan Klinik NU Care Sewon.
Ia kemudian menceritakan kisah-kisah yang menggugah hati tentang perjuangan klinik dan pasiennya.
“Beberapa pasien yang datang tidak bisa kami berikan tindakan karena alat yang tidak memadai atau obat-obatan yang sudah kedaluwarsa. Kami sempat menyiapkan obat-obatan dan bahan habis pakai, tapi karena pasien yang datang kebanyakan pasien umum dan pembelian obat menggunakan uang kas, kami akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menyediakan obat-obatan dan BHP,” jelasnya.
Febri juga menuturkan kisah seorang pasien langganan, sebut saja Tuan X, berusia 75 tahun.
“Beliau datang ke klinik dengan sepeda, dan selama ini tahu bahwa layanan di klinik tidak berbayar. Setelah diberlakukan biaya Rp15.000 bagi pemilik Kotak Infak (Koin) NU, beliau berkata tidak punya uang. Saat itu dokter menanggung biayanya sendiri, tapi sejak kejadian itu beliau tidak datang lagi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Febri, ada pula pasien lansia berusia 50 hingga 61 tahun yang tetap dilayani tanpa biaya.
“Meskipun bukan pemilik Koin NU, dokter memutuskan untuk tidak membebankan biaya pengobatan. Jadi setiap pasien seperti itu datang, biaya periksa ditanggung oleh dokter,” ungkapnya.
Cerita seperti ini menjadi potret nyata betapa pentingnya keberadaan fasilitas medis yang lengkap di klinik ini. Setiap alat kesehatan baru yang hadir berarti satu nyawa yang tertolong. Setiap sumbangan yang Anda berikan akan menjadi harapan baru bagi masyarakat kecil untuk tetap sehat, berdaya, dan produktif.
Mari bersama NU Care-LAZISNU DIY membantu Klinik NU Care Sewon agar terus bisa melayani masyarakat dengan fasilitas yang layak dan penuh kepedulian dengan cara:
Karena dari setetes kepedulian Anda, lahir harapan bagi ribuan jiwa di pelosok negeri.
Kebutuhan Dana 100.000.000
Dana Terkumpul 250.000
0 Donatur
52 Hari lagi
Di antara hamparan sawah dan pemukiman sederhana di Timbulharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kehidupan masyarakat berjalan dalam kesederhanaan. Setiap pagi, para petani turun ke sawah menenteng cangkul, para ibu berdagang di pasar tradisional, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai buruh pabrik atau pekerja harian lepas. Penghasilan mereka pas-pasan, sering kali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan terkadang harus dicukup-cukupkan agar dapur tetap mengepul.
Dalam kondisi seperti itu, kebutuhan akan layanan kesehatan sering kali terabaikan, karena biaya berobat dianggap sebagai pengeluaran yang terlalu berat. Padahal, masalah kesehatan bisa datang kapan saja—tanpa pandang waktu dan keadaan ekonomi. Ketika sakit menyerang, banyak warga hanya bisa menahan rasa sakit atau mengandalkan pengobatan seadanya, sebab jarak ke fasilitas kesehatan yang memadai cukup jauh dan biayanya tak terjangkau.
Dari keprihatinan itulah muncul gagasan mulia dari Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Sewon sekitar tahun 2014 untuk mendirikan klinik yang mampu memberikan layanan kesehatan murah bahkan gratis bagi masyarakat kecil.
Setelah melalui proses panjang dan penuh semangat gotong royong, berdirilah Klinik NU Care Sewon, sebuah fasilitas kesehatan yang berdiri di atas lahan seluas 213 meter persegi dengan bangunan 105,7 meter persegi. Klinik ini menjadi tempat warga menggantungkan harapan akan pengobatan yang terjangkau dan penuh kasih.
Namun di balik pelayanan tulus itu, ada perjuangan besar yang harus dihadapi. Biaya operasional, pembelian obat-obatan, gaji tenaga kesehatan, serta kebutuhan alat medis menjadi tantangan utama. Meski klinik telah berupaya menjalin kerja sama dengan publik, donatur perseorangan, dan CSR perusahaan, kebutuhan masih jauh dari cukup.
“Pernah suatu waktu, ada pasien yang harus segera ditangani. Namun karena peralatan kami terbatas, kami terpaksa merujuknya ke rumah sakit di kota yang jaraknya cukup jauh. Saat itu kami hanya bisa berdoa semoga pasien segera mendapat pertolongan,” ujar Febri Laila Erza (34), tenaga kesehatan Klinik NU Care Sewon.
Ia kemudian menceritakan kisah-kisah yang menggugah hati tentang perjuangan klinik dan pasiennya.
“Beberapa pasien yang datang tidak bisa kami berikan tindakan karena alat yang tidak memadai atau obat-obatan yang sudah kedaluwarsa. Kami sempat menyiapkan obat-obatan dan bahan habis pakai, tapi karena pasien yang datang kebanyakan pasien umum dan pembelian obat menggunakan uang kas, kami akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menyediakan obat-obatan dan BHP,” jelasnya.
Febri juga menuturkan kisah seorang pasien langganan, sebut saja Tuan X, berusia 75 tahun.
“Beliau datang ke klinik dengan sepeda, dan selama ini tahu bahwa layanan di klinik tidak berbayar. Setelah diberlakukan biaya Rp15.000 bagi pemilik Kotak Infak (Koin) NU, beliau berkata tidak punya uang. Saat itu dokter menanggung biayanya sendiri, tapi sejak kejadian itu beliau tidak datang lagi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Febri, ada pula pasien lansia berusia 50 hingga 61 tahun yang tetap dilayani tanpa biaya.
“Meskipun bukan pemilik Koin NU, dokter memutuskan untuk tidak membebankan biaya pengobatan. Jadi setiap pasien seperti itu datang, biaya periksa ditanggung oleh dokter,” ungkapnya.
Cerita seperti ini menjadi potret nyata betapa pentingnya keberadaan fasilitas medis yang lengkap di klinik ini. Setiap alat kesehatan baru yang hadir berarti satu nyawa yang tertolong. Setiap sumbangan yang Anda berikan akan menjadi harapan baru bagi masyarakat kecil untuk tetap sehat, berdaya, dan produktif.
Mari bersama NU Care-LAZISNU DIY membantu Klinik NU Care Sewon agar terus bisa melayani masyarakat dengan fasilitas yang layak dan penuh kepedulian dengan cara:
Karena dari setetes kepedulian Anda, lahir harapan bagi ribuan jiwa di pelosok negeri.
Belum ada kabar terbaru