Masa panen, kita tahu, adalah waktu yang ditunggu-tunggu bagi para petani. Di masa itulah mereka dapat mengumpulkan rupiah sebagai keuntungan bertani demi mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Namun, kondisi begitu berbeda dengan apa yang dialami oleh para petani di Gunungkidul, Yogyakarta.
Untuk diketahui, sebagian masyarakat di Kabupaten Gunungkidul merupakan petani singkong yang juga memproduksi gaplek sebagai salah satu olahannya. Namun, miris bagi mereka, di tahun ini, harga singkong hanya berkisar di angka Rp500-900 per kilogram, sementara untuk gaplek kualitas rendah dihargai sekitar Rp1.500-1.800 per kilogram.
Mengutip berita dari sorot.co, salah satu petani singkong asal Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Wardoyo mengungkapkan bahwa dirinya sangat terpukul dengan kondisi yang dialaminya.
“Singkong yang baru dicabut cuma dihargai Rp500, sedangkan gaplek paling Rp 1.500. Terkadang malah nggak sampai segitu,” ujar Wardoyo.
Lalu bagaimana dengan harga gaplek kualitas tinggi? Rupanya para petani ini kesusahan untuk dapat memproduksi gaplek berkualitas tinggi.
Cuaca yang tak menentu, ‘kemarau basah’ membuat gaplek tidak dapat kering secara maksimal saat dijemur. Akibatnya banyak jamur yang tumbuh menghinggapi gaplek-gaplek yang lembap hingga berakhir membusuk.
Perlu diketahui, bahwa masa tanam singkong bisa mencapai 9 bulan lamanya. Artinya selama 9 bulan itu para petani sangat mengharapkan hasil panen yang berkualitas. Dan selama 9 bulan itu juga mereka dengan sabar merawat singkong-singkongnya.
Dikutip dari ekonomi.ekspos.id Sekretaris Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Raharjo Yuwono menyatakan bahwa tanah seluas 41.612 hektare telah ditanami singkong.
“Masa panen singkong ini telah dimulai di bulan Juli dan akan berlangsung hingga September mendatang. Sedangkan untuk jumlah luasan lahan singkong yang telah dipanen hingga saat ini mencapai 6.801 hektare,” ujarnya.
Lurah Petir, Sarju Riyanto menambahkan bahwa hampir semua hasil panen mengalami kerugian.
“Padahal mayoritas warga Petir, sekitar 96 persen, menggantungkan hidup dari bertani. Kalau gagal panen seperti ini, ketahanan pangan lokal bisa terganggu,” ungkapnya.
Gagal panen akibat ‘kemarau basah’ tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta saja tetapi juga dialami para petani di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Sumatera Selatan. Sementara untuk daerah seperti di Sumatera Utara justru mengalami kemarau panjang dan krisis air.
Melihat kondisi tersebut, para petani mengalami kerugian yang sangat signifikan. Bahkan sekadar untuk biaya benih, pupuk, dan tenaga kerja yang sudah dikeluarkan, hasil panen tak cukup untuk menutupnya.
Untuk itu, NU Care-LAZISNU mengajak #SahabatPeduli untuk bahu membahu membantu para petani yang gagal panen untuk dapat bangkit kembali yakni dengan menyalurkan:
#SahabatPeduli dapat ikut berpartisipasi dengan cara:
Kebutuhan Dana 100.000.000
Dana Terkumpul 0
0 Donatur
121 Hari lagi
Masa panen, kita tahu, adalah waktu yang ditunggu-tunggu bagi para petani. Di masa itulah mereka dapat mengumpulkan rupiah sebagai keuntungan bertani demi mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Namun, kondisi begitu berbeda dengan apa yang dialami oleh para petani di Gunungkidul, Yogyakarta.
Untuk diketahui, sebagian masyarakat di Kabupaten Gunungkidul merupakan petani singkong yang juga memproduksi gaplek sebagai salah satu olahannya. Namun, miris bagi mereka, di tahun ini, harga singkong hanya berkisar di angka Rp500-900 per kilogram, sementara untuk gaplek kualitas rendah dihargai sekitar Rp1.500-1.800 per kilogram.
Mengutip berita dari sorot.co, salah satu petani singkong asal Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Wardoyo mengungkapkan bahwa dirinya sangat terpukul dengan kondisi yang dialaminya.
“Singkong yang baru dicabut cuma dihargai Rp500, sedangkan gaplek paling Rp 1.500. Terkadang malah nggak sampai segitu,” ujar Wardoyo.
Lalu bagaimana dengan harga gaplek kualitas tinggi? Rupanya para petani ini kesusahan untuk dapat memproduksi gaplek berkualitas tinggi.
Cuaca yang tak menentu, ‘kemarau basah’ membuat gaplek tidak dapat kering secara maksimal saat dijemur. Akibatnya banyak jamur yang tumbuh menghinggapi gaplek-gaplek yang lembap hingga berakhir membusuk.
Perlu diketahui, bahwa masa tanam singkong bisa mencapai 9 bulan lamanya. Artinya selama 9 bulan itu para petani sangat mengharapkan hasil panen yang berkualitas. Dan selama 9 bulan itu juga mereka dengan sabar merawat singkong-singkongnya.
Dikutip dari ekonomi.ekspos.id Sekretaris Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul, Raharjo Yuwono menyatakan bahwa tanah seluas 41.612 hektare telah ditanami singkong.
“Masa panen singkong ini telah dimulai di bulan Juli dan akan berlangsung hingga September mendatang. Sedangkan untuk jumlah luasan lahan singkong yang telah dipanen hingga saat ini mencapai 6.801 hektare,” ujarnya.
Lurah Petir, Sarju Riyanto menambahkan bahwa hampir semua hasil panen mengalami kerugian.
“Padahal mayoritas warga Petir, sekitar 96 persen, menggantungkan hidup dari bertani. Kalau gagal panen seperti ini, ketahanan pangan lokal bisa terganggu,” ungkapnya.
Gagal panen akibat ‘kemarau basah’ tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta saja tetapi juga dialami para petani di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian Sumatera Selatan. Sementara untuk daerah seperti di Sumatera Utara justru mengalami kemarau panjang dan krisis air.
Melihat kondisi tersebut, para petani mengalami kerugian yang sangat signifikan. Bahkan sekadar untuk biaya benih, pupuk, dan tenaga kerja yang sudah dikeluarkan, hasil panen tak cukup untuk menutupnya.
Untuk itu, NU Care-LAZISNU mengajak #SahabatPeduli untuk bahu membahu membantu para petani yang gagal panen untuk dapat bangkit kembali yakni dengan menyalurkan:
#SahabatPeduli dapat ikut berpartisipasi dengan cara:
Belum ada kabar terbaru