Para santri yang ditugaskan mengabdi di pemukiman muslim asli Papua membutuhkan biaya hidup yang tak sedikit. Hal ini juga ditambah lewat permintaan penduduk muslim yang membutuhkan pengajar lebih banyak supaya pembelajaran semakin merata.
Program Santri Goes to Papua menyelenggarakan berbagai pendidikan seperti membaca dan menulis, pendirian Madrasah Diniyah, pendidikan dasar moral keagamaan, dan pengajian rutin warga setempat. Tak hanya itu, perpustakaan yang layak untuk masyarakat setempat dan pengiriman siswa setempat ke pesantren di Jawa juga menjadi program yang terus digalakan dalam rangka dakwah yang merata di Papua.
Mereka yang bertugas di Papua membutuhkan biaya hidup, biaya tempat tinggal, hingga transportasi. Apalagi permintaan pengajar yang meningkat yakni di 7 kota/kabupaten yaitu Sorong, Asmat, Tambrauw, Sorong Selatan, Paniai, dan Merauke.
Sayangnya, karena kendala finansial, program ini hanya mampu memberangkatkan satu santri saja setelah tiga santri di tahun pertama pulang ke asalnya. Pada akhir 2015. Tahun ke dua hingga saat ini hanya Agus Setyabudi (34) yang setia mengajar penduduk muslim Papua di Sorong.
Lelaki asal Rembang, Jawa Tengah ini hanya pulang setahun sekali saat Idul Fitri saja. Sehari-hari ia mengajar Alquran kepada anak-anak dan sebagian orang tua di sebuah suku di Kabupaten Sorong yang masyarakatnya 100% muslim.
Dalam keadaan yang terbatas, Agus bertahan hanya dengan bekal Rp 2,5 juta dari PPM Aswaja setiap bulan. Ia mengaku, uangnya sudah habis terlebih dulu sebelum tanggal pengiriman uang selanjutnya. Apalagi kalau menggelar tahlilan, masyarakat di sana masih kurang akan kesadaran urunan bersama sehingga gelaran tersebut harus dikeluarkan dari koceknya. Alhasil, Agus tak lagi menggelar tahlilan setiap malam Jum’at.
Bagi lelaki 34 tahun ini, alasan kembali ke Sorong karena sudah terlanjur basah di program ini sekaligus punya kepuasan batiniyyah tersendiri. Ia menjadi merasa berguna, katanya.
Update : Agus akan kembali ke Sorong setelah Idul Adha tahun 2019. Tentu ia memerlukan bantuan biaya hidup lantaran harga di tanah Papua tentu lebih besar dibandingkan di Jawa. Ia pun ingin taman baca yang didirikannya memiliki rak dan buku-buku lebih beragam supaya anak-anak di sana dapat membaca lebih baik. Juga harapannya kepada para santri yang bersedia untuk diberangkatkan ke Papua untuk mengajarkan Islam lebih luas. Hal ini akan telaksana apabila bantuan secara finansial tercukupi.
Kebutuhan Dana 100.000.000
Dana Terkumpul 6.341.000
0 Donatur
0 Hari lagi
Para santri yang ditugaskan mengabdi di pemukiman muslim asli Papua membutuhkan biaya hidup yang tak sedikit. Hal ini juga ditambah lewat permintaan penduduk muslim yang membutuhkan pengajar lebih banyak supaya pembelajaran semakin merata.
Program Santri Goes to Papua menyelenggarakan berbagai pendidikan seperti membaca dan menulis, pendirian Madrasah Diniyah, pendidikan dasar moral keagamaan, dan pengajian rutin warga setempat. Tak hanya itu, perpustakaan yang layak untuk masyarakat setempat dan pengiriman siswa setempat ke pesantren di Jawa juga menjadi program yang terus digalakan dalam rangka dakwah yang merata di Papua.
Mereka yang bertugas di Papua membutuhkan biaya hidup, biaya tempat tinggal, hingga transportasi. Apalagi permintaan pengajar yang meningkat yakni di 7 kota/kabupaten yaitu Sorong, Asmat, Tambrauw, Sorong Selatan, Paniai, dan Merauke.
Sayangnya, karena kendala finansial, program ini hanya mampu memberangkatkan satu santri saja setelah tiga santri di tahun pertama pulang ke asalnya. Pada akhir 2015. Tahun ke dua hingga saat ini hanya Agus Setyabudi (34) yang setia mengajar penduduk muslim Papua di Sorong.
Lelaki asal Rembang, Jawa Tengah ini hanya pulang setahun sekali saat Idul Fitri saja. Sehari-hari ia mengajar Alquran kepada anak-anak dan sebagian orang tua di sebuah suku di Kabupaten Sorong yang masyarakatnya 100% muslim.
Dalam keadaan yang terbatas, Agus bertahan hanya dengan bekal Rp 2,5 juta dari PPM Aswaja setiap bulan. Ia mengaku, uangnya sudah habis terlebih dulu sebelum tanggal pengiriman uang selanjutnya. Apalagi kalau menggelar tahlilan, masyarakat di sana masih kurang akan kesadaran urunan bersama sehingga gelaran tersebut harus dikeluarkan dari koceknya. Alhasil, Agus tak lagi menggelar tahlilan setiap malam Jum’at.
Bagi lelaki 34 tahun ini, alasan kembali ke Sorong karena sudah terlanjur basah di program ini sekaligus punya kepuasan batiniyyah tersendiri. Ia menjadi merasa berguna, katanya.
Update : Agus akan kembali ke Sorong setelah Idul Adha tahun 2019. Tentu ia memerlukan bantuan biaya hidup lantaran harga di tanah Papua tentu lebih besar dibandingkan di Jawa. Ia pun ingin taman baca yang didirikannya memiliki rak dan buku-buku lebih beragam supaya anak-anak di sana dapat membaca lebih baik. Juga harapannya kepada para santri yang bersedia untuk diberangkatkan ke Papua untuk mengajarkan Islam lebih luas. Hal ini akan telaksana apabila bantuan secara finansial tercukupi.
02/11/2020
Rabu (28/10/2020), bantuan diterima oleh Kang Agus di tempat domisilinya di Komplek Min, Malasom, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat, bersama para santrinya.
Kang Agus mengungkapkan, ada sekitar 50-an santri yang diajar olehnya.
Terkait bantuan yang diterimanya, dirinya mengatakan bahwa bantuan tersebut sangat membantu dalam mendukung dakwah di Papua.
“Sangat membantu dalam men-support dakwah di Papua,” ucapnya.