Jamaah Masjid Al-Muttaqin di Dasan, Daegu, Korsel pada Ramadhan 1446 H. (Foto: dok pribadi)

Bagikan:  

Nuansa Pesantren di Masjid Al-Muttaqin Daegu, Korsel

By Kendi Setiawan

14/04/2025

851 kali dilihat

Daegu, NU Care
Saat bertugas sebagai bagian dari Program Dai NU Go Global Ramadhan 2025 saya menemukan sebuah permata spiritual di Korea Selatan: Masjid Al-Muttaqin. Berada di perdesaan bernama Dasan di wilayah Daegu, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan sebuah 'pesantren' di perdesaan Negeri Ginseng.

Keunikan Masjid Al-Muttaqin terpancar dari ciri khas yang juga menghiasi masjid-masjid pekerja migran Indonesia (PMI) lainnya, seperti keberadaan warga yang menetap di sana, fasilitas transportasi jemputan, kage/koperasi, dapur umum yang menjadi denyut nadi kebersamaan, hingga siaran langsung kegiatan ibadah di platform media sosial.

Pengalaman dakwah di masjid ini, juga di Masjid Al-Khaliq Gimcheon tahun sebelumnya, semakin mengukuhkan bahwa masjid-masjid ini adalah oase kerohanian dan pusat komunitas yang hangat bagi para perantau Indonesia.

Bukan sekadar anggapan, nuansa pesantren begitu kental terasa di Masjid Al-Muttaqin. Keberadaan sekitar 20 'warga maqam', layaknya santri yang menimba ilmu, menjadi salah satu alasannya. Rutinitas masjid pun menyerupai pesantren, dengan jadwal adzan teratur, imam dan bilal yang bertugas, hingga doa tarawih yang syahdu di bulan Ramadhan.

Jadwal kegiatan keagamaan ini tidak hanya untuk bulan Ramadhan, namun juga berlaku di luar Ramadhan, termasuk pelaksanaan Jumatan. Bahkan, ada jadwal masak yang disesuaikan dengan ritme kerja para “santri muqim”.

Pemandangan seorang PMI yang ingin “mendaftar” untuk tinggal di masjid, bak calon santri baru, semakin menguatkan kesan tersebut. “Siapa pun yang datang akan diterima dengan baik,” tutur Kang Zubair, sang amir masjid yang berperan layaknya lurah pesantren.

Di balik hangatnya aktivitas Masjid Al-Muttaqin, terjalin struktur kepengurusan yang solid. Kang Zubair, sang amir yang bersahaja dari Lombok, memimpin dengan penuh dedikasi, layaknya seorang lurah yang mengayomi warganya.

Namun, peran sentral dalam membimbing dan mengawasi roda kehidupan masjid ini dipegang oleh Dewan Syura, yang diketuai oleh Gus Suyono, atau yang lebih akrab disapa Gus Yono. Sosok kharismatik dari Pati ini, dengan pengalaman dan kebijaksanaannya, menjadi “pengasuh pesantren” bagi komunitas Masjid Al-Muttaqin, menuntun para warga dalam kehidupan sosial dan perjalanan spiritual di tanah rantau.

Kombinasi kepemimpinan yang kuat dan bimbingan rohani yang mendalam inilah yang menjadikan Masjid Al-Muttaqin bukan sekadar tempat ibadah, namun juga rumah yang penuh kasih, penuh dengan kekeluargaan, kebersamaan, dan pengertian satu sama lain.

Di jantung Kampung Dasan, semangat beragama tumbuh subur dengan hadirnya “Pesantren” Al-Muttaqin. Lebih dari sekadar tempat ibadah, masjid yang masih menyatu dengan bangunan motel ini menjadi oase kepedulian bagi para PMI di sekitarnya.

Dengan status sewa yang ada, semangat gotong royong terukir indah, di mana para “warga maqam” dan “santri kalong” bahu membahu mengumpulkan iuran. Sederhananya, dalam istilah pesantren ada santri mukim yang tinggal di pesantren dan santri kalong/non-mukim. Sekitar 350-an jiwa, dengan hati terpanggil, bersama-sama menjaga denyut nadi masjid ini, membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk menghadirkan ruang spiritual dan kebersamaan yang hangat di tanah rantau.

Di antara kegiatan yang mengesankan di Masjid Al-Muttaqin ini adalah adanya salah satu warga maqam yang belajar mengaji Iqra’ kepada Gus Yono, namanya Mas Rudi. Mas Rudi ini tidak ragu dan tidak malu sama sekali untuk belajar mengaji mulai dari tingkatan dasar, meski di usia yang tidak lagi muda.

Hal ini saya saksikan secara langsung dan bahkan menarik perhatian saya pada catatan pengalaman dakwah tahun lalu. Di tahun ini, saya menyaksikan Mas Rudi sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang sudah lebih jauh membaik. Bahkan, Mas Rudi sekarang sangat tekun mengaji, benar-benar menjadi pecinta Al-Qur’an di tengah kesibukan kerja yang begitu melelahkan dengan 12 jam kerja.

Mas Rudi ini pernah buka puasa bareng saya saat dia sedang yagan; jadwal kerja malam. Adzan Maghrib pukul 18.30, kemudian buka puasa dan shalat Maghrib sampai pukul 19.00 Waktu Korsel. Artinya, ada waktu setengah jam untuk Mas Rudi berangkat kerja. Selesai shalat, Mas Rudi mengaji melanjutkan tadarus; bacaan Al-Qur’annya, kemudian selesai dan langsung berangkat kerja.

"Saat itu saya masih melanjutkan buka puasa sambil memperhatikan pemandangan indah ini. Iya, indah, hubungan romantis antara hamba dengan Rabb-Nya; Allah Swt,” tutur Mas Rudi.

Ada juga jamaah yang mengaku baru mulai disiplin shalat lima waktu di Korea Selatan ini. Sebelumnya di Indonesia tidak begitu peduli dengan shalatnya. Berawal dari kumpul sesama PMI, kemudian mengikuti kegiatan di Al-Muttaqin, mendengarkan kajian, mulai ikut shalat, mulai menemukan kenikmatan dalam shalat, hingga akhirnya berkomitmen dengan diri sendiri untuk menjaga shalat.

Al-Muttaqin benar-benar memaksimalkan syiarnya dalam mengajak PMI untuk memakmurkan masjid dan berhubungan baik satu sama lain, seperti mengadakan kajian rutin sebagaimana telah disinggung di atas, juga kegiatan-kegiatan sosial. Bisa dikatakan, semua masjid yang diinisiasi oleh PMI terdapat pengajian rutin, termasuk juga Al-Muttaqin.

Kajian ini diisi oleh ustadz alumni pesantren yang alim yang juga bekerja di Korea Selatan ini. Para pengurus menjadwalkan silaturahmi antarmasjid yang diselenggarakan rutin dari masjid ke masjid setiap satu bulan sekali.

Fasilitas penjemputan dan siaran langsung kegiatan di media sosial merupakan bentuk syiar.

"Alhamdulillah, Ustadz, pengurus Masjid Al-Muttaqin ini benar-benar perhatian dengan jamaah luar (‘santri kalong’), salah satu contohnya adalah fasilitas penjemputan," tutur Mas Aldi, pemuda religius dari Banyumas.

Menurutnya seperti saat tarawih, bila ada jamaah yang baru pulang kerja dan ingin menyusul mengikuti tarawih di tengah-tengah pelaksanaan tarawih, kemudian jamaah tersebut mengirim pesan untuk dijemput, maka pengurus akan segera menjemputnya, walaupun cuma satu orang.

Kegiatan-kegiatan sosial dan siaran langsung adalah bentuk syiar Al-Muttaqin dalam mengajak jamaah untuk peduli dengan masjid. Masjid tidak hanya menggalang dana untuk operasional ibadah di masjid, namun juga menyalurkan bantuan untuk jamaah yang sedang membutuhkan bantuan. Dari jamaah untuk jamaah.

Demikian juga siaran langsung, ini dimaksudkan agar jamaah yang berhalangan hadir namun ingin mengikuti kegiatan atau mendengarkan kajian di masjid bisa ikut menyimak lewat siaran langsung. Siaran langsung ini juga sekaligus menjadi jembatan dakwah untuk menjangkau hati PMI lainnya yang mungkin belum tersentuh cahaya spiritualitas.

Uniknya, siaran langsung ini juga bertransformasi menjadi “wasilah komunikasi” para jamaah untuk memberikan kabar kepada istri, anak, dan sanak saudara di Indonesia; memberikan kabar baik yang meneduhkan di tengah jarak yang membentang.

Betapa bersyukur dan bahagianya seorang istri melihat suaminya mencari nafkah dan taat beribadah, atau seorang anak melihat ayahnya memberikan teladan yang baik; menjadi sosok percontohan yang berjuang untuk keluarga, juga menjaga hubungan baik dengan Allah Swt. Kita boleh sibuk, tapi tetap harus ingat dengan Rabb kita; Allah Swt.

M Muslim Aljihaad, Dai NU Go Global 2025 dengan penugasan ke Korea Selatan. Program ini didukung NU Care-LAZISNU.

Editor: Kendi Setiawan

Dakwah
Ramadhan
Korea Selatan
dai
Dakwah
Ramadhan
Korea Selatan
dai

Berita Lainnya