Oleh: El Hassan Bin Talal*
Seorang Mukmin tentu akan merasakan pancaran cahaya spiritual di balik peristiwa Isra dan Mi'raj sebagai salah satu tanda kebesaran Allah swt. Peristiwa ini menggambarkan betapa dalam kasih sayang Allah Swt kepada umat manusia.
Isra Mi’raj adalah peringatan yang dapat menghidupkan kalbu dan membangkitkan akal pikiran serta memperpendek jarak antara pancaran cahaya dan pencapaian-pencapaian yang diraih setelah pencerahan.
Isra Mi’raj adalah peristiwa yang layak dikenang dan direnungkan agar kita bisa menimba lebih banyak hikmah dan ilmu dari sana, yang membantu kita lebih memahami agama. Sebab, pemahaman mendalam tentang agama mengantarkan kita ke tempat tertinggi.
Saat kembali, maka kita kembali dalam keadaan kuat dan tegar untuk melanjutkan proses pembangunan dan pengembangan di muka bumi. Dalam ayat-ayat tentang Isra dan Mi’raj, Allah Swt menggambarkan tingginya ubudiyah (penghambaan) Rasulullah Saw.
Dia berfirman, "Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya" (QS al-Isra' [17]: 1). Ayat ini mengandung isyarat, penghambaan kepada Allah Swt merupakan sifat terdalam manusia dalam tingkat kedekatan dan penghormatan tertinggi kepada Sang Pencipta.
Sifat ini menegaskan pentingnya tawadhu meski kita punya derajat dan kedudukan tinggi, juga mengingatkan pada hal terbesar yang mempersatukan manusia. Artinya, identitas ras, suku, budaya, dan golongan harus bersatu di bawah payung ubudiyah kepada Tuhan.
Perasaan akan luhurnya nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam Isra dan Mi'raj bisa membangkitkan kesadaran tingginya martabat dan kedudukan manusia di hadapan Allah Swt.
Selain itu, menegaskan setiap individu berhak mendapatkan kehidupan layak serta kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jauh dari penindasan dan arogansi kaum mayoritas, seperti sikap kaum musyrikin Quraisy terhadap Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Perasaan akan luhurnya nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam Isra dan Mi'raj bisa membangkitkan kesadaran tingginya martabat dan kedudukan manusia di hadapan Allah Swt.
Sakralitas dan kesucian Masjidil Haram meliputi seluruh Kota Makkah mengisyaratkan pentingnya beralih dari sakralitas ibadah dalam dimensi agama yang sangat privat menuju kesucian kehidupan duniawi secara umum dan menyeluruh.
Demikian halnya ketika Al-Qur'an menggambarkan Masjid al-Aqsha dengan mengatakan, “Yang telah Kami berkahi sekelilingnya" (QS al-Isra' [17]: 1).
Ini berarti Allah Swt memberi masjid ini keistimewaan agung yang dapat memperluas pancaran keberkahannya hingga luar lingkungan masjid dan kota, diteruskan ke seluruh penjuru dunia sehingga meliputi seluruh umat dan bangsa.
Mukjizat Isra telah menghubungkan dua kota, Makkah dan al-Quds (Yerusalem), dengan ikatan spiritual yang sakral. Termasuk hikmah Ilahi jika peristiwa Mi’raj (naiknya Rasulullah Saw ke langit) bukan terjadi langsung dari Makkah, melainkan dari titik persinggahan beliau di Masjid al-Aqsha, barulah kemudian beliau naik ke langit.
Ini mengingatkan kita akan kesatuan risalah ilahiah yang dibawa para nabi dan rasul. Perjalanan Rasulullah Saw ke langit semakin mempertegas fakta ini, yaitu ketika beliau bertemu nabi-nabi lainnya.
Di sini terkandung isyarat pentingnya mempersatukan pengalaman-pengalaman rohani yang dialami para nabi dan rasul dalam menghadapi rintangan dan kesulitan yang menghalangi jalan dakwah dan reformasi.
Gambaran tentang Masjid al-Aqsha 'yang paling jauh' membuat kita merasa perjalanan spiritual telah mencapai jarak terjauhnya di muka bumi, yaitu ketika Kota Makkah dihubungkan dengan al-Quds.
Sejalan dengan itu, Mi’raj membawa kita mencapai Sidratul Muntaha, jarak terjauh yang bisa dicapai roh manusia dalam perjuangannya di hadapan cahaya Ilahi. Sebab, tujuan terbesar mukmin adalah berjuang mencapai puncak dari ibadah dan akhir dari segala hakikat.
Meyakini kebenaran peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan ujian bagi kaum mukmin untuk mengetahui kebenaran iman mereka terhadap yang gaib dan mengetahui sejauh mana keyakinan mereka terhadap kekuasaan Sang Pencipta.
Mukjizat Isra dan Mi'raj merupakan perpanjangan dari keyakinan kita terhadap mukjizat kenabian. Orang yang percaya pada kenabian Muhammad tentu tidak meragukan peristiwa itu.
Seperti jawaban Abu Bakar ash-Shiddiq saat ia ditanya tentang Isra dan Mi’raj, "Ya, bahkan saya percaya kepada Muhammad dalam hal-hal yang jauh lebih dari itu. Saya percaya kepadanya tentang naik dan turunnya dari langit sesuai berita dari langit."
Barangkali hikmah di balik terjadinya Isra pada malam hari adalah agar pada malam hari, kita senantiasa merenung dan ikut merasakan cobaan dan ujian yang dihadapi Nabi, keluarga, dan para sahabatnya.
Beliau menerima banyak gangguan dan tindakan jahat dari orang-orang kafir Quraisy pada tahun kesedihan. Pada tahun itu, istri beliau, Khadijah, meninggal dunia. Pada tahun yang sama, paman beliau, Abu Thalib, juga meninggal dunia. Beliau juga disakiti dan diusir penduduk Ta'if dari kota itu.
Peristiwa Isra datang untuk membawa beliau dari gelapnya kesedihan dan kezaliman manusia menuju cahaya syukur dan cinta Ilahi.
Dengan merenungi hakikat spiritual dan makna kelapangan Ilahi dapat memberi seseorang kekuatan untuk tabah dan bersabar dalam menanggung setiap kesedihan di muka bumi.
Peristiwa Isra tak lain untuk menguatkan hati Rasulullah Saw, memuliakannya, dan menunjukkan kedudukannya yang tinggi di antara para nabi lainnya. Peristiwa Isra bukan sebatas mukjizat indrawi dan fisik karena Allah Swt menghendakinya menjadi mukjizat spiritual, yang melampaui batas waktu hingga hari kebangkitan kelak. Sebab, risalah yang diemban Rasulullah Saw berlaku hingga akhir zaman.
Sebagaimana risalah Islam memerlukan bukti spiritual yang memperkuat keyakinan kaum mukmin, kita juga memerlukan bukti materiil logis yang dapat membangkitkan peradaban manusia dan menegaskan universalitas risalah penutup yang dibawa Rasulullah Saw.
Saat ini, kita sangat perlu merumuskan kembali wacana keagamaan baru, yang memadukan antara dalil naqli, aqli, pengalaman spiritual, dan kisah-kisah legenda dalam warisan agama kita.
Mukjizat Isra dan Mi'raj mengingatkan kita akan tanggung jawab spiritual dan historis yang dipikul Yordania dalam menjaga dan merawat Masjid al-Aqsha dan tempat-tempat suci Islam dan Kristen lainnya di Yerusalem.
Tentu ini proyek yang membutuhkan pengembangan metode ijtihad dan pemahaman baru terhadap ayat kauniyah dan ruhiyah, yaitu pemahaman yang memberi dunia semangat baru pada saat tantangan kian besar dan keimanan pada keajaiban kekuatan Ilahi melemah.
Abdul Aziz Sashadina mengatakan, "Ketika hukum dan iman berpadu dalam kehidupan individu, keduanya akan menciptakan rasa aman dan integritas dalam dirinya, juga dapat menguatkan kesadarannya akan tanggung jawab dalam menegakkan keadilan. Ketika rasa aman dan integritas ini ditransmisikan agar tecermin dalam kehidupan seluruh lapisan masyarakat, ia akan mewujudkan keharmonisan sosial. Di sini perdamaian dapat menjadi sebuah keyakinan yang tecermin dalam tindakan.”
Meski tekanan dan tantangan mengadang kita, tanggung jawab menjaga dan merawat Masjid al-Aqsha ini akan terus mendapatkan kekuatan dan dorongannya dari semangat Isra, yang merupakan perpanjangan dari ikatan suci antara Baitul Maqdis, Rasulullah Saw, keluarganya, dan para pengikutnya.
Isra dan Mi'raj menegaskan perlunya masyarakat kita atas suatu tatanan moral yang dapat menutupi celah-celah keadilan sosial, membebaskan kaum tertindas, menolak kebencian dan kekerasan, melindungi kita dari dampak buruk bencana dan peperangan, serta mendukung semangat solidaritas dan kerja sama di antara umat manusia.
*Penulis adalah Pangeran Kerajaan Yordania Hasyimiah
Tulisan ini dikutip dari Republika.id. Pemuatan di web ini dengan perubahan seperlunya tanpa mengubah isi dan substansi.