Ibadah qurban adalah ibadah utama di bulan Dzulhijjah. Secara umum, berqurban dibagi menjadi dua jenis, yakni qurban sunnah dan qurban nazar. Berbeda dengan qurban sunnah yang diniatkan untuk bersyukur dan berbagi, qurban hukumnya menjadi wajib dilakukan jika memiliki nazar tertentu.
Sebagai contoh, ada seseorang yang ingin mencapai suatu hal (cita-cita) tertentu. Selain berikhtiar dan berdoa, ia juga berjanji untuk berqurban jika cita-citanya itu tercapai. Maka wajib baginya untuk menunaikan qurban jika cita-cita telah tercapai.
Keduanya, baik qurban sunnah maupun qurban nazar, dilakukan pada Hari Raya Idul Adha, yakni 10 Dzulhijjah dan hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Namun, ada beberapa hal yang membedakan antara keduanya, adalah sebagai berikut:
1. Hak mengkonsumsi daging bagi Pequrban (mudhahi)
Mudhohi diperbolehkan mengambil sedikit bagian atau memakan beberapa suap untuk mendapat keberkahan, lalu menyedekahkan sisanya. Sedangkan pada qurban nazar yang hukumnya wajib, mudhahi beserta tanggungannya tidak diperbolehkan untuk mendapat bagian. Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani dalam Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, pada halaman 531 menjelaskan bahwa, “Orang berqurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikit pun dari qurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya.”
2. Pihak yang berhak menerima
Jika mudhahi berqurban wajib karena nazar, maka wajib memberikan semua hasil sembelihan kepada fakir/miskin termasuk daging, kulit, tanduk. Lain halnya dengan qurban sunnah, mudhahi boleh memberikannya kepada orang yang berkecukupan maupun fakir/miskin.
Pada prinsipnya, hewan yang diqurbankan baik dengan tujuan menjalankan sunah maupun menunaikan nazar, keduanya bermanfaat untuk membahagiakan saudara-saudara kita, terutama yang hidupnya tidak/kurang berkecukupan. Untuk itu, LAZISNU PBNU mengajak para mudhahi untuk turut berqurban di Hari Raya Idul Adha tahun 1443 H ini, melalui tautan nucare.id/qurban
Sumber: NU Online